Jumat, 31 Juli 2015

Bagaimana Rékoméndasi Harga Ecéran Tertinggi (HET) Bahan Bakar kendaraan ber-Motor (BBM) Ideal berdasarkan rumusan Standar Nilai Intrinsik (SNI)?

Assalamu'alaikum. Bismillah.

Pada prinsipnya, langit yang tujuh, juga bumi yang tujuh memiliki koéfisién untuk dihitung. Jika, bumi ada tujuh lapisan, maka prosés mendapatkan barang - barang tambang yang ada di dalamnya dapat dibagi pula ke dalam tujuh bagian atau divisi dalam perusahaan pertambangan negara, yaitu mencakup;
1. Penelitian.
2. Penggalian.
3. Gudang Penyimpanan.
4. Penyulingan.
5. Uji Kelayakan.
6. Pengemasan.
7. Gudang Distribusi.

Dari awal UKM 100 SNI per-liter, dinaikkan setiap tahapnya sebesar 165%, sehingga dari Gudang Distribusi kepada bagian pemasaran perusahaan tambang minyak harga jual menjadi 5.494/liter Bahan Bakar kendaraan ber-Motor (BBM), dan dari Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) naik lagi 165% sehingga harga beli dari SPBU kepada konsumen menjadi 9.100,- SNI per-liter BBM.

Keunggulan sistém pembentukkan harga ini, di antaranya;1. Melepaskan ketergantungan kepada harga minyak dunia, sehingga negara dapat mengatur diri sendiri.
2. Menghindari spékuilatif atau mengundi nasib dengan anak panah.

Nishab BBM menjadi nishab mata uang SNI se-tahun, yaitu 34.500.000,- SNI dibagi harga BBM 9.100,- SNI sama dengan 3.791,20 liter, atau dibulatkan menjadi 3.791 liter nishab BBM.

Selanjutnya dapat ditentukan nishab untuk bahan makanan pokok bagi masyarakat, dibahas pada artikel selanjutnya.

___

Suntingan ke-1: 11/09/2018, pada PILIHAN SELANJUTNYA, guna pindah ke halaman terbaru penulis.

PILIHAN SELANJUTNYA, "click": Hijrah.


Bagaimana Rékoméndasi Cara Menghitung Upah Minimum Kinerja Karyawan?

Yusni Tria Yunda [ 📝 ].

Assalamu'alaikum. Bismillah.



1). Asma'ulhusna ada 99 yang disempurnakan dengan nama Allah, sehingga jumlah menjadi 100.
2).  Nilai100 ini dirékoméndasikan sebagai modal dasar berupa hidup manusia, namun belum berarti jika tanpa dzikir. Karena itu ajaran dzikir jahr 165 x dikonvérsikan ke dalam perséntase menjadi 165%.
3). Satuan mata uang perlu diubah menjadi SNI, yaitu Standar Nilai Intrinsik. 100 modal hidup satuannya disebut SNI, singkatan dari Standar Nilai Instrinsik.
4). Untuk bisa berarti, maka hidup harus berdzikir dengan 165% dikalikan modal (100), itulah laba per-detik kinerja manusia (Usaha Kinerja Manusia = UKM), yaitu 100 SNI x 165% = 165 SNI.

5). Dalam dzikir ada yang diucapkan dan ada yang diingatkan yaitu lahir dan batin atau syariat dan hakékat. Karena 165 SNI x 165% = 272,25 SNI per-menit, inilah Upah Standar yang secara rékoméndasi layak untuk menghargai kinerja manusia.
6). Untuk per-jam 60 menit dikali 272,25 SNI sama dengan 16.335 SNI.
7). Standar jam kerja per-hari kerja adalah 8 jam, karena itu UMK per-jam sama dengan 16.335 dikali 8 jam kerja sama dengan 130.680 SNI per-hari kerja.
8). Standar hari kerja perusahaan besar adalah 2 hari libur dalam 1 minggu atau 8 hari libur dalam sebulan dari 30 hari, sehingga rata - rata 22 hari kerja per-bulan. Berarti zakat bagi pekerja dapat dihitung alokasinya dari hitungan ini, UMK per-bulan idéalnya adalah 2.874.960,- SNI per-bulan.
9). Ketentuan zakat adalah mencapai nishab dalam 1 tahun. Dengan demikian, maka 12 bulan x 2.874.960,- SNI sama dengan 34.499.520,- SNI atau dibulatkan 34.500.000,- SNI per-tahun.
10). Ketentuan nishab zakat adalah mencapai nishab dalam se-tahun, dengan demikian maka sisa 34.500.000,- yang dapat tersisa dalam satu tahun itulah yang dapat dirékoméndasikan sebagai nishab zakat.
11). Hadits menyatakan 20 Dinar emas sebagai standar nishab atau 200 Dirham pérak. Kaitannya dengan SNI, berarti 34.500.000,- SNI dibagi 20 Dinar sama dengan 1.725.000,- SNI per-Dinar emas atau 172.500,- SNI per-Dirham pérak.

 Menurut saya, dirékoméndasikan agar UMK dimulai pada putaran pertama dan seterusnya, sejak UKM dikalikan 165%. Selanjutnya, kalkulasi harga BBM yang dirékoméndasikan untuk dapat kita tetapkan mengacu kepada prinsip - prinsip utama ini.

Suntingan ke-1 (tanggal 05/05/2017, ba'da Maghrib wibb)
sistem_gaji inflasiUpah Minimum KinerjaUpah KaryawanTenaga Kerja

___
Suntingan ke-2: 11/09/2018, pada PILIHAN SELANJUTNYA, guna pindah ke halaman terbaru penulis.

PILIHAN SELANJUTNYA: "click": Hijrah.

Rabu, 29 Juli 2015

Mengapa Zakat pada Sistem Bagi Hasil Dirékoméndasikan Dihitung dari Laba Kotor?

Yusni Tria Yunda [ 📝 ].

Assalamu'alaikum. Bismillah.

Secara akuntansi, cara yang saya rékoméndasikan untuk zakat penjualan diambil dari Laba Kotor setiap bulan. Mengapa?. Jawabannya adalah: Pertama, lebih prudent (berhati - hati). Ke-dua, lebih mudah menghitungnya, yaitu koéfisién zakat dikalikan terhadap Pos Laba Kotor, yang merupakan selisih antara Pos Penjualan dikurangi HPP (Harga Pokok Penjualan), atau bahasa umumnya adalah modal. Ke-tiga, lebih tepat waktu bagi pihak - pihak yang memerlukannya, yaitu para mustahik. Ke-empat, lebih tepat jumlah harta yang dikeluarkan. Ke-lima, apabila zakat telah disaring sejak mulanya penjualan terjadi, maka ke bawahnya akan menjadi bersih, meskipun mungkin di akhir tahun akan ada penghitungan lagi untuk menggenapi apa yang kurang karena terpinjam untuk perputaran usaha atau belum terhitung.

Dalam hal ini, Pos Biaya Penjualan (Sales General and Administration) belum dikurangi, disebabkan, biaya - biaya tersebut ditanggung oleh pihak - pihak yang berbagi hasil. Jadi, koéfisién zakat tetap dihitung dari Laba Kotor.

Adapun menyikapi nishab waktu zakat selama 1 (satu) tahun, maka dapat dilakukan dengan cara; alokasi zakat per-bulan diakumulasikan selama 1 (satu) tahun untuk kemudian dibayarkan setelah genap 1 (satu) tahun. Perhitungan tetap dilakukan tiap bulan.

___
Suntingan ke-1: 11/09/2018: mencantumkan PILIHAN SELANJUTNYA.

PILIHAN SELANJUTNYA:

1. Pindah ke Halaman Terbaru Penulis, "click": Hijrah.



Selasa, 28 Juli 2015

Mengapa Negara Harus Mengganti Sistem Bunga Pinjaman dengan Cara Bagi Hasil?

Assalamu'alaikum. Bismillah.

Ketika dibandingkan, antara nilai agunan berupa kepemilikan tanah dengan nilai bunga kredit pinjaman, di satu sisi akan ditemukan fénoména saling menyeimbangkan; yang mana nilai tanah cenderung meningkat dan nilai bunga yang merupakan pertambahan dari pinjaman yang juga meningkat, yang biasanya berlaku dalam dunia perbankan. Misalnya, saya memiliki sebidang tanah yang mana pada tahun 2014 memiliki nilai perolehan atau nilai pembelian 1 juta Rupiah, dan di masa kini meningkat Nilai Pasar Wajarnya (NPW) menjadi Rp. 1.250.000,-. Adapun, nilai pinjaman yang telah ditambahkan dengan bunga, juga meningkat pengembaliannya, misalnya, tahun yang lalu pinjam 1 juta Rupiah, dan tahun ini total yang harus dikembalikan kepada kréditur adalah Rp. 1.250.000,-. Secara sekilas, nilai ini akan sepadan dengan peningkatan nilai agunan. Tulisan kali ini bukan membahas mengenai perselisihan antara bunga dengan pokok pinjaman, namun tentang mudharat yang ditimbulkan dari sistem bunga berbanding dengan kenaikan harga tanah yang dijaminkan.

Yang disebut sebagai mudharat adalah dari satu sisi inflasi yang disengaja, yaitu pemberian bunga oleh débitur kepada kréditur akan membuat negara terpaksa mencétak lagi jumlah uang yang beredar di masyarakat, yang mana collateral di negara bandar tidak ditambah oleh negara yang bersangkutan. Di sinilah terjadi inflasi pertama. Inflasi ke-dua adalah ketika nilai agunan bertambah dan débitur mengalami Non Performing Loan (NPL) atau krédit macét. Ketika terjadi NPL, dan agunan dijual untuk penyelesaian krédit, maka Nilai Pasar Wajar (NPW)nya akan naik mendekati kesesuaian harga saat agunan dijual yang biasanya mengalami kenaikan harga. Di situlah terjadi inflasi ke-dua. Negara dan rakyat secara keseluruhan akan mengalami kerugian, karena itu kita simak rékoméndasi dalam tulisan ini.

Menyimak terjadinya double inflasi sebagaimana yang telah diuraikan di atas yang membuat kurs mata uang negara kita terus menurun, maka negara harus meninjau ulang dua hal; 1). mengahapuskan peraturan bunga bagi perbankan dan 2). penetapan Nilai Pasar Wajar untuk agunan berupa tanah. Tinjauan ulang tersebut dapat diselesaikan dengan solusi bagi hasil.




--------------
Sistem bunga, sering diidentikkan dengan riba. Mengenai hal ini, saya akan mencoba melihat korelasi antara variabel jaminan utama, yaitu usaha yang lg. (lagi) dilakukan oleh peminjam, dengan sejarah kuantitatifnya. Atas pemahaman terhadap kenyataan-kenyataan empiris yang memang pernah saya alami, diharapi saya mampu menghindari diri dari verbalisme, yang sering menyebut-nyebut suatu konsep namun masih berat sebelah, yang pembahasannya lebih condong kepada dominasi kualitatif. 
Sebelum membahasakan prolog mengenai agunan, yang merupakan satu dari dua jaminan, saya cenderung untuk menelusuri akar-akar ribaisme kuantitatif terlebih dahulu sebagai pelengkap dari tulisan berjudul "Mengapa Negara Harus Mengganti Sistem Bunga Pinjaman dengan Cara Bagi Hasil?" ini, sebab pembahasan mengenai ribaisme kualitatif sepertinya telah banyak dilakukan. Saya akan coba sajikan, meskipun masih secara global dan sederhana, pemikiran pendukung dari saya berdasarkan pengalaman usaha di sektor riyel perdagangan eceran yang pernah saya lakukan, mengenai kenapa esensi dari paragraf ke-3 pada poin ke-1 adalah vital, namun harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggunghitungkan sebagai input bagi kualitatif. Setelah tulisan-tulisan ini, Insya Allah, dengan beberapa sempel, kita akan pelajari bersama poin-2 dari paragraf ke-3 di atas.
-------
Sempel ke-1 : Perdagangan di Pasar Tonggéng'
Foto Penulis bersama Bang Dani [Dédi Lamdani], salahseorang Pedagang Sénior di Pasar Tonggéng. Lokasi: Kecamatan Balééndah, Kabupatén Bandung, 2020 Maséhi. Sumber: "click" buat teman penulis.


Kendatipun saya pernah berpikir bahwa bahasa bilangan, matematika, adalah bahasa universal, bilangan yang dituliskan, adakalanya memiliki makna-makna yang lebih daripada sekedar angka-angka yang "kering" tanpa makna, ketika diterapkan pada suatu studi kasus nyata. Pada bagian ini, akan saya uraikan sebagian hasil penelitian terhadap aktivitas yang pernah saya alami, sebagai satu sempel objek penelitian aktivitas ekonomi perdagangan pada segmen pra-mikro{1} yang dilakukan pada periode 2015/2016, dengan studi kasus pada rentang waktu spesifik, yaitu TMT (terhitung mulai tanggal) Rabu, 28/09/2016 hingga Senin, 17/10/2016, di beberapa kewilayahan kecamatan di tiga daerah; Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kotif (Kota Administratif) Cimahi. Ketiganya berada di dalam kewilayahan pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Perangkat, dalam hal ini adalah informasi kuantitatif berupa angka.

Angka-angka yang diteliti, menjadi objek kuantitatif dalam bagian ini. Mengingat bahwa penggunaan informasi kuantitatif hasil heuristik dari aktivitas perdagangan, maka pendekatan multi disipliner keilmuan yang akan saya gunakan adalah AKUNTANSI PRAKTIS’ yang fungsinya saya percayai sebagai yang paling mendasar dalam setiap analisa terhadap kuantitatif usaha, yang juga dimungkini akan dapat berguna bagi para pelaku bisnis sejenis, terutama saat akan dievaluasi, baik pre-test maupun post-test oleh wakalah atau mudhorib{2} dalam proses memorandum analisa pinjaman modal, serta para calon suplier tentunya. Analisa akuntansi praktis yang akan digunakan pada penelitian di bagian ini hanya akan saya libatkan 3 (tiga) aktiva, yaitu pada: Aktiva Lancar, meliputi; Kas, Persediaan, dan Piutang.
Gambar sémpel produk dari Risty Collection》di Wéblog TransNL》"Click".

~Dalam vidio berikut, adalah contoh langkah awal penanganan Kasus Piutang Macét》Vidio》PD.Alesha》

~Perbandingan Kasus-2》Yayasan Harapan Bangsa》'Klik'.

Adapun pasiva yang dilibatkan, adalah pos-pos; hutang dagang dan pos modal (equity) yang nilainya bertolak pada awal "periode" dari pos modal disetor saja, belum melibatkan kontribusi dari pos hutang modal (ataupun hutang bank) maupun hutang investasi (hutang jangka panjang), serta tanpa pos hutang kepada pihak III, dan karenanya saya inputkan langsung ke dalam Equity Diketahui (B16 s/d G16), sebagai hasil kalkulasi dari Total Aktiva dikurangi Total Hutang Lancar. Input dengan cara ini saya pikir adalah yang paling sesuai dalam sempel pra-mikro yang lagi saya teliti, sehubungan dilakukan untuk mendapatkan sisi praktis’ tadi, yang besar kemungkinan pula dengan dasar-dasar analisa ini akan dapat bermanfaat bagi segmen yang lain di atas sempel ini. Tindakan sempeling pada segmen ini diperlukan untuk memahami bagaimana survival dapat dilakukan dalam kondisi kapital yang sangat minim, yang diputar dalam usaha harus mengupayakan mencetak laba untuk menghadapi keroyokan dari pos-pos pengurang laba dalam rumus laporan laba-rugi, yang umum adalah pos biaya operasional, dan pos biaya penyusutan.

Adapun pada Neraca, laba harus menghadapi pengurang yang bersifat langsung (direct), yaitu pos prive. Bantuan pada Neraca hanya ada pada pos laba berjalan, karena tak menambah isi pos selain pada pos hutang dagang saja. Apabila tingkat kemampuan terminimal dari usaha telah dapat diukur, yaitu sebagaimana yang akan tercermin (namun tak terbalik pada kedua arah horizontalnya) dari pembahasan terhadap sample ini, maka diharapkan akan dapat ditemukan beberapa dasar aspek logika empiris untuk membangun pendekatan "yuridis kuantitatif", dalam proses pengambilan kebijakan oleh pihak-pihak yang berkeperluan dalam pembangunan perekonomian ummat pada saat ini dan mendatang, untuk kemaslahatan para pelaku bisnis serta masyarakat umum, yang secara langsung maupun tidak langsung (indirect) mungkin telah pula terlibat dalam penelitian ini, baik sebagai konsumen, ataupun berafiliasi dengan pihak produsen produk maupun afiliasi dalam rantai distribusinya hingga ke tangan konsumen. Adapun, konstruksi teknis dari kuantitatif ini, bila telah dapat diujikan pada beberapa aspek lain, kiranya akan dapat dijadikan sebagai suatu input bagi pendekatan kualitatif, agar dapat menyempurnakan instrumen yang sebelumnya telah ada.

Pergerakan Neraca Praktis <kajian posisi 27/09/2016 s& 17/10/2016. Konversi nilai digit dalam ribuan (000,-)>.

1. Total Aktiva Lancar yang saya miliki pada posisi awal neraca aktiva <27/09/2016> adalah 857 (konversi dari delapan ratus lima puluh tujuh ribu rupiah), terdiri dari tiga pos; Kas <K> 127, Persediaan <Ps> 685, dan Piutang <Pi> 45. Nilai Total Pasiva saya setara dengan nilai Total Aktiva saya, yang terdiri dari dua pos; Hutang Dagang <HD> 52, dan Equity <E> 805. {3} Secara umum, pergerakan posisi Neraca yang "normal" biasanya dilakukan dengan perbandingan dari tahun ke tahun. Namun dalam penelitian ini, situasional yang darurat, maka saya kaji pergerakannya dari hari ke hari efektif 16 hari <bukan jumlah hari keseluruhan dari kurun waktu semple ini (20 hari kalender), dan kemudian akan diungkapkan adanya 'hari delta', yaitu jumlah hari menyelisihkan angka pergerakan hari-hari efektif (total hari efektif sempel dikurangi 1 hari awal), dan dirata-ratakan untuk mendapat rata-rata hari delta sebagai bilateral'.

2. 29/09/2016. Aktiva Lancar <AL> 997; K 38, Pe 871, Pi 88. Pasiva 997; HD 52, E 840. Terjadi selisih antara jumlah aktiva_pasiva pada posisi [2.] <tanggal 29/09/2016> terhadap jumlah aktiva_pasiva pada posisi [1.] <tanggal 28/09/2016> sejumlah 997<->857 = <+>140. Seratus empat puluh ribu ini adalah delta neraca yang diperoleh pada hari efektif ke-2. Analisa secara umum terhadap pergerakan delta ini, sejak delta ke-1 pada hari efektif ke-2 ini dan selanjutnya, hingga delta ke-15 pada hari efektif ke-16, dapat memperkirakan bagaimana alur yang terjadi pada Laporan Laba-Rugi. Ini adalah satu poin di antara beberapa poin sisi praktis analisa bisnis Pra-Mikro, tanpa harus melupakan azas prudent <terutama ut. (untuk) calon penyalur pinjaman dan suply>.

3. 30/09/2016. AL 1.025,5; K 138,5, Pe 799, Pi 88. Pasiva <P> 1.025,5; HD 157, E 868,5. Adapun deltanya antara [3.] dengan [2.] adalah 28,5 <1.025,5 dikurangi 997>. Ini hari delta ke-2.

4. 01/10/2016, AL 1.061,5; K 254,5, Pe 719, Pi 88. P 1.061,5; HD 157, E 904,5.

5. 02/10/2016. AL 1.080; K 72, Pe 963, Pi 45. P 1.080; HD 150, E 975.

6. 03/10/2016. AL 1.143; K 305, Pe 793, Pi 45. P 1.143: HD 105, E 1.038.


Penyajian angka-angka dalam tabel berikut, yaitu pada range B3:19, dan 3B_3G hingga 19B_19G adalah dalam ribuan (000,-). Misal: 52 (koordinat B15), dibaca sebagai: “Lima Puluh Dua Ribu”, dan bukan “Lima Puluh Dua”.


Tabel sampel 1{4}

(Tabel-tabel lain yang berumus sama, dapat dilanjutkan untuk poin-poin ke-7 hingga ke-16, yang data kuantitatifnya sebagai berikut):

7. 04/10/2016. AL 1.009,5; K 167,5, Pe 797, Pi 45. P 1.009,5; K 107,5, E 902.

8. 05/10/2016. AL 1.055; K 399, Pe 557,5, Pi 81. P 1.055; HD 107,5, E 947.

9. 07/10/2016. AL 1.027,5; K 7,5, Pe 910,5, Pi 45. P 1.027,5; HD 107,5, E 919,5.

10. 08/10/2016. AL 1.077,2; K 290, Pe 742,2, Pi 45. P 1.077,2; HD 107,5, E 969,7.

11. 10/10/2016. AL 815; K 34, Pe 736, Pi 45. P 815; HD 107,5, E 707,5.

12. 11/10/2016. AL 873; K 163, Pe 665, Pi 45. P 873; HD 107,5, E 765,5.

13. 13/10/2016. AL 853; K 69, Pe 739, Pi 45. P 853; HD 107,5, E 745.

14. 14/10/2016. AL 783; K 86, Pe 652, Pi 45. P 783; HD 107,5, E 675,5.

15. 15/10/2016. AL 761; K 205, Pe 511, Pi 45. P 761; HD 107,5, E 653.

16. 17/10/2016. AL 556; K 0, Pe 511, Pi 45. P 556; HD 107,5, E 448. HD yang diinput di dalam analisa praktis ini adalah HD yang lagi (lg). produktif <bukan total HD yang lg. macet dan lg. tak dapat diputar>.

Sekarang, saya akan mencoba memahami konsep "kesalahan hitung" dalam analisa khusus, yang memungkinkan konteks dari konsepsi ribaisme secara kualitatifpun bisa terlahir dari hal kuantitatif ini. Memahami hal ini, dapat membantu kita untuk mengantisipasi peluang-peluang kekalahan kita dalam melawannya. Satu yang terpenting, yang saya alami dalam analisa kuantitatif ini adalah dalam hal waktu. Penghitungan-penghitungan waktu sebagai kerangka durasi berlangsungnya peristiwa-peristiwa ekonomi yang dikuantitatifikasi, dapat terjebak kepada penghitungan “hari-hari yang salah”, dalam arti terjadinya selisih antara hari-hari kalender, hari-hari produktivitas ataupun hari-hari produksi, serta hari-hari yang diselisihkan (dicari selisihnya, dengan tujuan untuk mendapatkan nilai pertumbuhan ataupun kebelumtumbuhan). Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut;
A.    Hari-hari kalender yang berlangsung adalah 20 hari (sejak tanggal 27/09/2016 hingga tanggal 17/10/2016).
B.     Hari-hari Efektif produktivitas selama hari-hari kalender termaktub adalah 16 hari efektif (sesuai poin-poin ke-1 hingga ke-16).
C.     Hari-hari delta, yang dapat diselisihkan adalah 15 hari (selisih hari-hari efektif <HE> ke-2 dikurangi ke-1, HE ke-3 dikurangi ke-2, HE-4 dikurangi HE-3, HE-5 (-) HE-6, HE-7 (-) HE-6, dan seterusnya, hingga HE-16 (-) HE-15, akan didapati total hari delta adalah 15 hari).
D.    Rata-rata hari adalah 17RH (Rata-rata Hari), yang didapatkan dari jumlah hari-hari yang didapatkan oleh poin A+B+C lalu dibagi tiga.

Operasional Hari Delta <HD>
·         Hasil dari HD-1 adalah HE-2 (-) HE-1, yaitu Total Pasiva pada HE-2 dikurangi Total Pasiva pada HE-1, menghasilkan angka 997 dikurangi 857, adalah sama dengan 140 (positif 140), inilah deltanya untuk HD-1.
·         Hasil dari HD-2 adalah HE-3 (-) HE-2, yaitu 1.025,5 dikurangi 997 {5}, sama dengan 28,5 (positif 28,5), inilah deltanya untuk HD-2.
·         Demikian seterusnya, hingga HD-15.

Secara total, zigma atau akumulasi HD yang saya dapatkan dari HD-1 hingga HD-15 (semua nilainya dijumlahkan), menghasilkan total selisih (delta) (-) 301 <sesuai dengan sumber data (dari tabel) dalam konteks dibaca: “Tiga Ratus Satu Ribu”, bukan “Tiga Ratus Satu)>. Akumulasi Delta ini, yaitu negatif “Tiga Ratus Satu Ribu”, saya bagi dengan HD, dengan tujuan awal untuk ‘mengetahui rata-rata pertumbuhan’{6}, yang menghasilkan nilai rata-rata minus 20,067 per HD. Adapun untuk HE (Hari Efektif), rata-rata yang didapatkan dari 301 dibagi 16 HE, adalah negatife 18,8125/HE atau hari operasi produksi (produktivitas). Sementara itu, secara Hari Kalender (HK), didapatkan rata-rata (-) 15,05/HK <hasil dari 301/20HK>. Secara rata-rata dari akumulasi ketiga hari-hari termaktub (HK, HE, dan HD), menghasilkan Rata-rata Total (RT), yaitu (-) 53,930 dibagi 3, sama dengan 17,977. Kemudian, 17,977 dari 301,0 adalah (-) 4,44% (negative empat koma empat puluh empat persen) rata-rata tingkat kerugian yang dialami per-hari rata-rata kumulatif. Adakah fakta yang salah dalam hal ini?, ataukah ada instrumen dalam perhitungan kuantitatif yang salah pada sempel ini?.

Kebiasaan kuantitatif dalam “meramal masa depan”, akan membuat alur berpikir saya jadi merumus:
·         Jika Rata-rata Hari  (RH) pada poin di atas, yaitu 17, menjadi pengkali dari Rata-rata Total (RT), maka 17 dikali 17,977, akan sama dengan 305,609. Adakah kuantitatif yang aneh bagi saya dalam hal ini?. Ada, yaitu nilai 305,609 tidak sama dengan akumulasi HD yang hanya minus 301 per 15HD.
·         Tentu satu dari beberapa hal yang menjadi pembedanya adalah angka pembagi yang berbeda, yang 305,609 mengambil pembagi dari 17 (sebagai Rata-rata Total), sedangkan yang 301 mengambil pembagi dari 15 (sebagai Hari-hari Delta). Akibatnya, terjadi suatu angan-angan “yang memanjang”, misalnya: dengan adanya selisih antara 305,609 dikurangi dengan 301, yaitu 4,609 (positif). Angka nilai 4,606 ini jika dijumlahkan dengan angka nilai (-) 17,977 yang merupakan nilai dari rata-rata Hari Delta, menghasilkan angka nilai (-) 13,368. Dengan demikian, angka nilai minus 13,368 per-hari, atau (-) 4,44% dari “tiga ratus ribu” ini telah “mengecoh” sistim perediksi, seakan-akan tingkat kerugian “hanya” senilai 13,368 per-harinya, padahal adalah 17,977 minus per-harinya bila tanpa spekulasi yang menghasilkan 4,609 tadi.

·         Parahnya, adalah bila angka nilai 4,609 ini lalu dikompaer dengan angka nilai minus 301, seolah ada hal yang dapat ditolerir sebesar (-) 1,53% (minus) dari nilai kerugian semula <4,609 berbanding (-) 301 = (-) 1,53%>. Bayangkan, bila dibagi dengan 17 RT, menjadi (-) 0,09% <(-)1,53% / 17RT>, dan bila coba-coba kita pukul rata dengan mengkalii dengan proyeksi untuk 22 HE, menghasilkan tindakan percobaan “pengundian nasib dengan anak panah” sebesar (-) 1,98% per-bulan (dengan 22HE, bukan HK). Karena bernilai minus, maka 1,98% ini, yang dalam setahun (12 bulan) menjadi “susut usaha” sebesar 23,76% per-tahunnya berdasarkan HK normal. Akibatnya, persentase 23,76% ini dijadikan harapan minimal untuk memimpin target minimal perolehan dalam target setahun. Membahas ribaisme kuantitatif dalam konteks ini, saya dan kita semua kiranya dapat memahami, bahwa kunci-kunci kuantitatif rupanya dapat menggiring para pelaku pengambilan dan perumus kebijakan menerapkan ketentuan pengembalian suatu pinjaman dengan dasar kuantitatif yang mungkin belum tepat, sebagaimana yang pemikiran itu pernah saya alami sesuai dengan alur tulisan ini.

~Dayeuhkolot, 31 Agustus 2017.
 (Insya Allah, bersambung...)

Keterangan berkurawal;
{1} Pra-mikro, saya maksudkan untuk menamai suatu segmen bisnis berdasarkan karakteristik plafon kapital yang berada pada sepersekian dari nishob harta dalam ketentuan Agama Islam berdasarkan kajian kewajiban zakat.

{2}Mudharib: pihak yang menjadi pengelola dana dalam perjanjian bagi hasil. (Lihat: Setiawan Widagdo, M.Pd. "Kamus Hukum". Prestasi Pustaka. Jakarta, Juni 2012:348).

{3} Buku catatan pribadi Yusni Tria Yunda, mengenai perdagangan di Pasar Tonggéng’.

{4} Penyajian angka pada isi tabel memaksudkan tanda koma (,) sebagai pemisah tiap ribuan (tiga digit <000> di belakang tanda koma, yang menunjukkan satuan terbesar dari angka yang dimaksudkan). Ini berkebalikan dengan penggunaan tanda titik (.) setelah nilai-nilai yang diwakili oleh angka-angka utama (nilai besar) selesai dimaktubkan, menjadi fungsi dan tanda titik (.) ini dapat dibaca koma dalam penyajian angka secara normal (bukan dalam tabel).

{5} Penyajian ini menggunakan cara penulisan dan pembacaan secara normal (penyajian dalam kalimat, bukan penyajian dalam tabel).

{6} Saat saya mengalami efek dominasi instrumen akibat menggunakan kebiasaan pendekatan secara kuantitatif saja dalam mencoba “memastikan” apa yang akan mungkin terjadi secara angka spesifik di masa depan, berdasarkan track record angka belaka, dapat menjerumuskan kepada kenyataan harapan yang menyalahi takdir. Inilah, menurut saya, yang merupakan janin riba dalam akuntansi kritis’.

-------
Suntingan II



Akuntansi Praktis (1)

Aktivitas usaha, pada bidang apapun, serta pada skala apapun, idealnya memiliki pencatatan keuangan yang dapat membantu pelaku usaha dalam membukukan sejarah pengamalan muamalahnya pada periode-periode tertentu, yang kelak dapat berguna bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk mengetahui perjalanan usaha yang bersangkutan termaktub. Bila diperbedakan secara global, biasanya hal utama yang dijadikan sebagai prioritas dalam pencatatan usaha adalah aspek keuangan, yang mana pencatatan keuangan ini merupakan sarana hidupnya suatu usaha. Dengan adanya pencatatan keuangan, riwayat suatu usaha dapat terilusterasii secara pantas dengan data-data yang diriprisentasii oleh angka-angka. Riwayat-riwayat harga pembelian barang komoditi untuk dijual lagi dapat disebut sebagai Harga Pokok Penjualan <HPP> atau secara pengertian umum disebut sebagai "modal". Modal, yang dimaksudi dalam hal ini adalah sejumlah nilai uang yang perlu dikeluarkan untuk mendapatkan produk.

Penempatan modal jenis ini, yaitu HPP, adalah dalam Laporan Penjualan, yaitu laporan keuangan hasil transaksi-transaksi pembelian, penjualan, serta biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyaring penjualan kotor menjadi laba bersih. Karena itu, laporan ini juga dapat disebut sebagai "Laporan Laba-Rugi". Pengertian modal, dalam Laporan Laba-Rugi, memiliki perbedaan makna dengan pengertian modal dalam laporan keseimbangan keuangan, yang mana karena sifatnya yang menyeimbangkan status jumlah nilai kehartaan, maka laporan ini disebut sebagai "Neraca". Modal dalam pengertian Neraca, adalah mencakup seluruh nilai harta pelaku usaha yang mana harta termaktub dilibatkan dalam pergerakan usaha. Artinya, pengertian modal dalam Neraca, bukan hanya modal harga beli (HPP) dari barang-barang komoditas yang diperdagangi saja yang dituangi nilainya pada pos modal dalam Neraca, bahkan juga mencakup jumlah dari uang tunai (pos Kas), serta jumlah nilai tagihan milik pelaku usaha yang lagi berada di pihak-pihak lain (pos Piutang).

Akuntansi praktis ini, hanya membedai antara pengertian modal yang dimaksudi dalam Laporan Laba Rugi dengan pengertian modal yang dimaksudi dalam Neraca. Adapun untuk membedainya agar keperaktisan bahasa umum lebih terfasilitasi, maka yang dimaksudi dengan modal dalam pengertian Neraca, diriferis atau digantii nama posnya sebagai Ekuiti <Equity> atau dalam tabel 1 sempel-1 di awal, diistilahi dengan "Equity yang diketahui".

Hal ini dilakui dengan maksud untuk mencaritemui adanya keperaktisan pencatatan usaha-usaha Pra-Mikro, agar kita mudah membedakan mana yang disebut sebagai "modal" dalam pengertian 'tradisional' <Laporan Laba-Rugi>, dengan mana yang disebut sebagai 'modal' dalam pengertian yang lebih kompeleks dan kritis pada Neraca. Akan ditemui adanya perbedaan konsep Equity pada akuntansi kompleks, dengan istilah Equity <'Equity yang diketahui'> pada akuntansi peraktis ini. Bila akuntansi kompleks mendifainisii pos Equity dengan rumus Equity sama dengan Total Hutang ditambah Modal, maka akuntansi praktis akan mendefinisii Equity sebagai "Jumlah Modal Sendiri". Aspek inilah yang dicari oleh semua pihak, tentunya termasuk oleh calon mudharib, untuk menemukan posisi Neraca dari para pelaku usaha terhadap net dari nishob harta, sehingga dapat menentukan kebijaksanaan yang pas bagi semua pihak dalam berinteraksi muamalah ini pada saat kondisi dari posisi yang dimaksudi berlangsung.

Dengan mengetahui pergerakan dari hari ke hari mengenai posisi terhadap nishob dari jumlah modal sendiri <Equity yang diketahui> dalam usaha Pra-Mikro yang saja jalani pada sempel-1 ini, dapat tumbuh beberapa ranting analisa kualitatif global dari bahan kuantitatif ini. Misalnya, 'hanya' dengan menyimak angka-angka dalam Neraca yang dibuat secara jujur oleh para pelaku usaha, maka mudharib hanya perlu menanyakan jumlah tanggungan dan biaya-biaya yang seharusnya dilengkapi pada Laporan Laba Rugi para pelaku usaha, namun sehubungan darurat belum dapat dibuatnya, selain dari pos Penjualan dan pos HPP yang kemungkinan besar selalu mudah diingatinya, lalu memperkirai berapa nilainya dari jumlah biaya-biaya tersebut, tanpa harus menginterogasi secara detail komposisi dari suply "empat sehat lima sempurna" serta ferikuwensi yang dikonsumsi oleh pelaku usaha yang dimaksudi. Apabila ditemukan ada satu atau beberapa HD yang negatif, ada kemungkinan bahwa terjadinya saat bertepatan dengan jatuh tempo kontrakan rumah.


-------


KONSEPTUAL (I)

Dasar Konsep: Instanding & Outstanding

"Bagaimana Kontribusi Sampel Masyarakat Aceh Untuk Membangun Konsep Instanding Tanpa Tanda Berbunga?"
Investigasi terhadap keperluan entitas Agama dan Negara, serta masyarakat mengenai sistim muamalah yang pas untuk diterapkan paska tahun-72 peroklamasi Kemerdekaan Indonesia, menunjukkan bahwa pengenalan sistim ekonomi dalam konsep agama, dalam hal ini saya mencoba kaji dari sempel agama yang mengkelaim diri sebagai ‘Rahmatanlil'alamin’: Agama Islam, memerlui heuristik tersendiri. Ini disebabkan proses dan gelombang Islamisasi di Nusantara memiliki karakteristik yang khas di berbagai daerah, yang oleh sebab itu maka hasil-hasil akulturasi dalam sistim ekonomi yang merupakan local genius dari perpaduan sistem entitas lama <pra-Islam> dengan sistim baru <muamalah Islam> dalam hal ekonomi pun jadinya memiliki wujud yang unit sehingga menarik minat negara bangsa-negara bangsa lain untuk mengkajinya pula, sebagai studi komparasi dari sistem yang telah mereka jalani, ataupun menjadiinya sebagai prototipe yang dapat ditiru sesuai dengan kadar dan kondisi mereka masing-masing.

Aceh, yang kini secara administratif kenegaraan Republik Indonesia dimaktubkan dengan nama Nangroe Aceh Darussalam, saya jadikan ketertarikan khusus, bukan saja karena julukan yang selama ini disandangnya sebagai 'serambi Mekah', namun juga karena banyak interaksi intens yang telah terjalin di antara saya dengan masyarakat dari etnis asli <asli, bagi saya adalah tempat kelahiran, tidak berubah-ubah, meskipun tempat domisili (de facto) dapat beberapa kali hijrah> Aceh yang berdomisili baik secara de facto maupun de jure di kewilayahan Provinsi Jawa Barat. Membahas mengenai sistem bunga pinjaman, yang diyakini sebagai rupa dari ribaisme, yang saya ketahui selama ini, masyarakat masih fokus kritisinya terhadap sisi out_standing (OS) yaitu status-status dana pihak III yang dipinjamkan kepada masyarakat pelaku ekonomi, namun umumnya masih belum satu persepsi bahasan fokus dalam hal in_standing (IS) dari dana termaktub, yaitu status-status dana yang disimpan oleh masyarakat kepada lembaga pengelola dana termaktub, seperti bank.


Gambar (1). <*>

Tulisan ini, bukan bermasud menggeser sisi out_standing dan mengabaikan adanya indikasi riba secara syariah di dalam perakteknya, melainkan berupaya untuk mencaritemukan status-status yang pas untuk sumber dananya terlebih dahulu <instanding>, sebab: "bagaimana bisa ada sejumlah output apabila materi inputnya belum ada?". Menarik bagi saya, bahwa cara pemahaman masyarakat Aceh terhadap hutang piutang, adalah dengan mengkonversikan angka hutangnya secara multi level konversi. Konversi pertama, yang bernilai sejumlah mata uang yang lg <lagi> berlaku. Konversi ke-dua, yang bernilai sejumlah satuan emas yang disebut 'mayam' <1 mayam setara dengan 3,33 gram emas>. Kedua cara konversi ini, telah dilakukan sejak lama oleh para Indatu yang kemudian dilanjutkan terus oleh generasi-generasi selanjutnya, hingga saat ini. Hasil interaksi saya dengan Bang Hamdani, warga Kota Bandung, yang asli Aceh, dan Syech Mochammad Yusuf, warga Kabupaten Bandung, yang juga asli Aceh, dalam pembicaraan kami bertiga pada tanggal 24/08/2017 di Kota Bandung, membatangkan beberapa pemikiran ini;

1. Nilai kenaikan harga tanah di Aceh relatif stabil. Sudut pandang evaluasi nilai ini, dimungkini bila ditinjau dengan cara konversi yang ke-dua di atas. Kestabilan yang terjaga ini, bisa berlaku dalam berbagai akad transaksi; baik pinjam meminjam, maupun jual beli semisal pecahan dari Aktiva Tetap yang sumbernya dari warisan.

2. Saya jadi menduga, bahwa indikasi telah terjadinya suatu revolusi sosial di kalangan masyarakat Aceh pada zaman Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dikaji oleh sejilid buku yang pernah saya baca, yang bertajuk "Revolusi di Serambi Mekah", tulisan karya Nazaruddin Syamsuddin, sepertinya bukan semata-mata mengenai revolusi politik internal di kalangan kasta bangsawan Aceh (Teuku) dengan kasta ulama Aceh (Tengku) belaka, melainkan dimungkinikah masyarakat Aceh lagi merumusi sistim perekonomian yang pas untuk diikutsertai dalam Undang-Undang Dasar RI th 1945?.

Masalahnya adalah saya tidak atau belum menemukan data bahwa pada masa lalu, yaitu pada saat-saat BPUPKI lalu PPKI merumusi calon konstitusi yang akan diberlakui di Indonesia, sepertinya perwakilan dari Aceh tidak dilibati. Maka kini saya berpikir bahwa wajar bila dalam hal sistim muamalah, penjabaran-penjabaran konstitusi kenegaraan masih ada jarak yang cukup signifikan dengan sistim syariah secara prinsipil. Kenyataan adanya gap ini, diakui oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 TENTANG Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 TENTANG Perbankan, Pasal 1 ayat 3<*,-pen.>; "Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;(.)"{7}

Adanya opsional kata-kata "dan/atau" dalam Pasal 1 ayat 3 termaktub, menyuratkan bahwa masyarakat boleh memilih sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan pada tahap-tahap keadaan proses Islamisasi yang lg dialaminya, tanpa ada paksaan dari konstitusi negara Indonesia itu. Namun, bila hati ini tertarik untuk mempelajari biji yang diharapi dapat tumbuh menjadi batang, lalu ranting yang lebih nyaman, boleh dikaji terlebih dahulu pada Pasal 1 ayat 5: "Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;(.)"{8}

Pada Pasal 1 ayat 5 ini, belum dijabarkan mengenai: "apa akad yang berlaku di antara penyimpan dengan penerima simpanan, berkenaan dengan status simpanan termaktub?" Saya percaya bahwa kita umumnya biasa melihat bahwa ada dua sudut pandang untuk memposisikan status-status simpanan tersebut. Apabila berlaku pada sistim konvensional, maka penyimpan diakadi akan mendapatkan jumlah simpanan pokoknya aman, dalam arti tidak akan berkurang jumlahnya <bukan nilainya> bila hasil bunga dari jumlah simpanan yang diperolehnya dapat melebihi dari jumlah biaya-biaya penyimpanan yang dipersyarati oleh pihak yang menerima simpanan. Ada unsur kapitalistik dalam hal ini, yaitu dengan logika: 'simpanan yang jumlahnya riletiyif besar akan mampu mempertahankan nilainya, bahkan cenderung bertambah besar, baik jumlahnya maupun nilainya, apabila rasio atau perbandingan antara bunga simpanan yang akan diperolehnya lebih besar daripada biaya-biaya atas simpanan yang disimpan termaktub'. Adapun untuk nasib para penyimpan yang berada di bawah nishob, bagaimana solusinya?. Akad itu sepertinya perlu diundangi.


Dalam Pasal 1 ayat 23 UU Perbankan No.10 Th.1998, dinyatakan bahwa: "Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;(.)" {9} Agunan, secara akuntansi kritis, baik sebelum maupun setelah diikat dalam suatu perjanjian kredit, adalah tetap menjadi isi angka pada aktiva tetap. Adapun bagi semua agunan yang diproduktifkan maupun yang tidak diproduktifkan adalah tetap berkategori aktiva tetap, meskipun mungkin pada umumnya orang akan menganggap bahwa asset yang berupa aktiva tanah atau bangunan, atau tanah dan bangunan yang lg tidak diproduktifkan adalah  kategori “simpanan”, namun, dalam pengertian ini, simpanan yang dimaksud bukanlah berupa asset Aktiva Tetap. Setidaknya, begitulah akuntansi dipahami oleh Hukum Negara pada saat ini, yaitu lebih kepada dana, yang secara akuntansi termasuk ke dalam Aktiva pada kelompok Aktiva Lancar.

UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat 6, dinyatakan: "Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;(.)" {10} Dalam UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat 12, dimaktubkan: "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan;(.)" {11} Ada simpanan, maka dapatlah dilakukan kredit untuk membangun kelancaran penghidupan dalam kehidupan masyarakat warga Negara.

Keterangan;
<*> https://www.facebook.com/notes/10150797260391502/
<*,-pen.> dalam buku, tercetak tulis ayat 2, seharusnya ayat 3, sebab dalam ayat 2 dinyatakan termaktub: "Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dlam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;" <ibid>.

Keterangan Berkurawal:
{7} Redaksi Sinar Grafika. "UNDANG-UNDANG PERBANKAN 1998 (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)". Sinar Grafika. Jakarta. Cetakan keenam, April 2007: 9.

{8} ibidem.

{9} op.cit:12.

{10} op.cit; 67-68.

{11} op.cit: 68.

~Dayeuhkolot, 4 September 2017.
-------
KONSÈPTUAL (II).

Guna Penempatan Perkara Pencatatan Keuangan: lihat "link": Laporan Laba Rugi.*

*Dayeuhkolot, 3 Septèmber 2018, waktu Dhuha. Èditing ber_link dilakukan terhadap kata-kata; riba, aktiva, neraca aktiva, Persediaan, Piutang, dan Laporan Laba Rugi.

-------

Suntingan-3: 11/09/2018: pada PILIHAN SELANJUTNYA, guna pindah ke halaman terbaru penulis.

PILIHAN SELANJUTNYA: "click": Hijrah.