Yusni Tria Yunda [ 📝 ].
Bersama, setelah tibanya ajaran kasta dalam sosiologis komunitas Sunda, yang puncaknya terwujud dalam sebuah entitas politik (1) ; penerapan sistem kasta dalam radius wilayah Kesundaan dan juga Asia Tenggara, dimungkinkan berlangsung selama beberapa abad. Pembuangan karakter asli yang menerapkan sistem komunal dalam masyarakat pra-sejarah di lingkungan masyarakat komunitas Sunda dilakukan hingga setidaknya identitas entitas komunitas ini diingatkan kembali oleh datangnya suatu sistem sosial kemasyarakatan baru ; Islam, yang tanpa ajaran kasta.
Bersama, setelah tibanya ajaran kasta dalam sosiologis komunitas Sunda, yang puncaknya terwujud dalam sebuah entitas politik (1) ; penerapan sistem kasta dalam radius wilayah Kesundaan dan juga Asia Tenggara, dimungkinkan berlangsung selama beberapa abad. Pembuangan karakter asli yang menerapkan sistem komunal dalam masyarakat pra-sejarah di lingkungan masyarakat komunitas Sunda dilakukan hingga setidaknya identitas entitas komunitas ini diingatkan kembali oleh datangnya suatu sistem sosial kemasyarakatan baru ; Islam, yang tanpa ajaran kasta.
Mobilitas sosial, selain cara Islam dan leluhur masyarakat Sunda, mendapatkan "perlawanan", di satu sudut, dan ter"akulturasi"kan dengan memori Ke-Islam-an menjelang Caruban (Cirebon) terjamah Islamisasi yang kuat dengan perbandingan pada abad ke-13-an di sudut lain (2). Menyadari bahwa sistem kasta mulai goyah selama sekitar 6 abad - pola sejarah sebagaimana fenomena sebelumnya, bahwa Hindu India mendapatkan antagonisme dari Sidharta Gautama (representasi kasta satria yang mencari pelepasan identitas kasta dari dominasi kasta Brahmana), terulang di Indonesia Sunda, Itulah maka, proteksi dilakukan oleh para pendominasi entitas ketika itu - bersamaan dengan masuknya penetrasi kekuatan Eropa "baru", yaitu entitas Belanda "baru" pasca takluknya Napoleon Bonaparte di Eropa pada pertengahan awal abad ke-19.
Kaum Sunda terbagi dua pada pertengahan abad ke-19 ; kasta's resistanted, dan mobilization's reformer - begitu kita dapat menamakannya, saling berebut pengaruh di Tatar Sunda, bersamaan dengan intervensi pihak ke-III, Belanda "baru". Apa yang kemudian terjadi, adalah fakta - fakta awal dari kisah Sangkuriang, sebagai berikut ;
1). bahwa, kisah menjelaskan Dayang Sumbi adalah anak seekor babi (Wayungyang), suatu simbolisasi ke-najis-an dan ke-haram-an dalam terminologi syariat milik teologis Islam. Adapun ayahnya, adalah seorang kasta satria (Raja / Pangeran) Sunda. Satu ciri yang harus di-peka-i oleh sejarawan peneliti adalah telah terjadi pelaksanaan yang salah dalam sistem kasta seharusnya. Berikut adalah ketidakselarasan pakem kasta ; "satria seharusnya tidak dapat menikahi kasta-kasta lain di luar kastanya : apalagi dengan hewan, yang dalam terminologi sistem kasta India, seekor hewan adalah out of caste, di luar kasta - bahkan publik tidak boleh mengakui lagi eksistensi berikut jati diri orang-orang terdekat yang melakukan perkawinan dengan eksternal kasta itu."
2). bahwa, Dayang Sumbi "terbuang" dari lingkungan kastanya di Istana kala itu adalah pesan ke-dua, sebagai bagian pendahuluan dari "tulisan" para lelulur yang diukir dalam hierarki kalam syariat dengan hakekat. Jadi, siapa kini yang masih menyatakan bahwa kearifan-kearifan dalam kemasan-kemasan tradisi lisan, sejarah lisan, yang sumbernya dari cerita-cerita rakyat adalah "belum mengenal tulisan"?. "Keakraban" satria dengan out of caste
(bahan kasta paria), adalah kenyataan pahit yang harus diterima oleh
keturunannya, Dayang Sumbi .Di sadari maupun tidak, imej dan persepsi
publik terhadap kenyataan kisah ini, belum dianggap sebagai sejarah,
meskipun fenomena tersebut adalah bagian dari untold the facts. Hanya
sudut pandang tassawuf yang kemudian dapat mengkajinya secara jernih
dan objektif, tentu setelah dikomparasikan dengan keilmuan yang umum
berlaku, sehidup-hidupnya sehingga anggapan bahwa dzikir bukanlah dianggap unlogic approach
untuk keilmuan maupun kontribusi metode mendekatkan diri kepada Allah dapat orang pertimbangkan di jalan kisah ini.
Hingga di sini, peni'mat kisah Sangkuriang tentu mulai "melihat" adanya sebuah
prolog dari pesan tersirat dari kisah yang lahir dari pinggiran masa
lalu yang termarginalkan karena mungkin dominasi "View of usser" menggunakan sudut pandang keilmuan Barat yang
diadopsi oleh para ilmuwan Indonesia yang ketika itu belum memahami cara membuka mata hati
diri-dirinya.
Catatan kaki :
(1) http://sundalawas.blogspot.co.id/2015/06/kerajaan-caringin-kurung-400-sm-200-m.html
(2) selengkapnya, dapat ditinjau pada "Kitab Pustaka Rajya - Rajya i Bhumi Nusantara" dan "Carita Parahyangan" | Marwati Djoened Poespanegoro, dkk dalam "Sejarah Nasional Indonesia II dan III".
(Bersambung ke Bagian-3)
___
Suntingan ke-1: 11/09/2018, pada PILIHAN SELANJUTNYA, "click":
Tidak ada komentar:
Posting Komentar