Oleh : Heri Arifin dan Yusni Tria Yunda[1]
Assalamu’alaikum, Bismillah.
Sebuah Prolog
Ribaisme sebagai sebuah sistem
ekonomi massal, saat ini bukan hanya masalah nasional, melainkan masalah universal.
Sepanjang sejarah, keburukan sistem keuangan Ribawi jelas-jelas terbukti. Instabilitas
kurs mata uang yang memaksa tiap negara meniarapkan diri saat dikomparasikan
dengan akumulasi billing pinjaman mereka, sehingga semprotan al-Qur’an menjadi
nyata transparan.[2]
Namun, muslimin bijaksana memandang bahwa urusannya bukan sekedar “meninggalkan”
Riba, melainkan mencoba mencari rumusan solusi alternatif serta langkah-langkah
penerapannya yang dapat “diikuti jejaknya” secara objektif, sebagai bentuk
tanggung jawab sosial serta wujud berterima kasih terhadap masyarakat luas karena
telah banyak mentransformasikan pengetahuan dan ilmu kepadanya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, bukan mencari selamat bagi
diri sendiri saja, melainkan memperjuangkan keselamatan bagi semua yang
berjiwa, yang pernah dan akan berjiwa.
Inti Riba dan Hakekat Dosa
Riba berasal dari kata ziyadah, yaitu penambahan, ditimpakan
kepada penghutang yang harus mengembalikan pinjamannya dengan ada penambahan
berdasarkan persentase tertentu atau popular disebut bunga. Sekitar abad VI
sebelum Masehi, Riba pada zaman Yunani kuno memiliki beragam jenis. Pinjaman
Biasa, pinjaman property, pinjaman antar kota, serta pinjaman perdagangan dan industri.
Di Romawi, pada sekitar abad V sebelum Masehi hingga IV sebelum Masehi, berlaku
bunga yang menurut Plato (427 sampai 347 SM), menyebabkan perpecahan dan
perasaan tidak puas masyarakat.[3]
Inti Riba adalah adanya sejumlah penambahan terhadap hutang pokok yang dipinjam
oleh penghutang.
Pada hakekatnya, yang menjadi
inti dari setiap dosa adalah menyekutukan Allah SWT. Bentuk menyekutukan dapat
terdeteksi dari tindakan mengingkari Ketentuan-Nya, Kekuasaan-Nya dan atau
Kehendak-Nya. Dengan kata lain, tidak mempercayai salah satu Rukun Iman, yaitu
Qadha dan Qadar (Ketentuan dari Allah). Mendahului Ketentuan Allah, adalah dosa
karena telah mengingkari-Nya. Dengan demikian, dalam perspektif ini, Riba
dikatakan berdosa adalah bukan karena persentase tertentu yang dikenakannya,
melainkan karena pada hakekatnya Riba telah melanggar dan meniadakan hak-hak
mutlak milik Allah SWT, dengan mempertuhankan nafsu – nafsu diri.
Dzikir Effect
Hakekat obat untuk mengatasi hal
tersebut, tiada lain adalah dzikir, adapun syariat obatnya adalah dengan menerapkan
sistem ekonomi bagi hasil dan bagi rugi. Syariat dan hakekat harus berdampingan
seiring sejalan, bagaikan dua tangan yang saling membantu, di saat yang satu
merasa gatal maka yang lain dapat menggaruknya, sebab tak mungkin tangan yang
gatal dapat menggaruk dirinya sendiri. Dengan kata lain, melaksanakan solusi
secara bersama-sama saling membantu. Demikian pula dengan ummat.
Dzikir nafi dan isbat, adalah
kalimat dzikir yang tidak mengakui semua tuhan – tuhan dan menetapkan kepada
Tuhan Allah yang satu tunggal, adalah dzikir yang paling besar manfa’atnya dan
paling sangat berbekas bagi manusia, yaitu kalimat : “LAA ILAAHA ILLALLAH,
artinya tidak ada Tuhan melainkan Allah.[4]
Dengan dzikir, manusia melepaskan
dirinya dari adanya pengakuan terhadap tuhan-tuhan selain Allah, yaitu hawa
nafsunya sendiri, termasuk rasa serakah, dan was-was. Secara mental dan
psikologis, dalam kaitannya dengan Riba, pihak pelaku ekonomi melakukan Riba
dikarenakan salah satu dari rasa serakah dan atau was-was menguasai jiwanya.
Ingin memperkaya diri, serta was-was bahwa hartanya akan berkurang. Ini adalah
nafsu – nafsu yang “dipertuhan” sehingga harus dikendalikan dengan dzikir.
Ahli dzikir, tentunya merupakan
tempat bertanya paling afdhol. Senantiasa berada dalam keadaan jiwa yang tenang
dan berdzikir : “Laa ilaaha Illallaah” secara jahr (jahar), dan menyebut
(ingat) Allah senantiasa secara khofi. Di satu sisi jelas, bahwa dengan dzikir,
segala penyekutuan Allah di dalam jiwa akan terurai, hancur dan hilang, dan di
sisi lain, melestarikan dzikir tersebut secara istiqomah dan berkesinambungan
adalah syarat mutlak untuk menjaga masuknya pintu – pintu syetan ke dalam
latifah – latifah diri.
Sesuai prosedur dari guru – guru,
gerakan kepala para pengamal TQN saat dzikir jahr (jahar) mengarah kepada
latifah – latifah tertentu, dan secara simbolis kami (penulis) terjemahkan pula
adalah hubungan - hubungan vertikal (dengan Allah), serta hubungan horizontal
(dengan sesama). Artinya, dalam bermuamalah kita tidak dapat sendirian,
melainkan harus bersatu padu, menjalankan suatu sistem yang telah lama
dirindukan masyarakat dunia, yaitu suatu perekonomian non-Ribaisme. Hal
tersebut tentunya dapat dilakukan jika secara berjamaah, dalam dzikir maupun
muamalah.
Rekomendasi Konsep Bagi Hasil dan Bagi Rugi versi Nata Laba
Kesulitan bank – bank syariah di
Indonesia dalam menerapkan prinsip Bagi Hasil adalah mereka terikat dengan
ketentuan regulasi Bank Indonesia (BI), serta teori inflasi berikut based
landing rate (ketentuan acuan suku bunga standar). Mimpi mewujudkan suatu imagined economics syariah system pun tak tercapai. Satu – satunya
badan hukum yang merupakan badan usaha yang bebas dari ketentuan regulasi BI
adalah koperasi, tentunya koperasi murni yang tidak “disalahgunakan” sistemnya,
yaitu Bagi Hasil. Mengenai hal tersebut, relasi kita di Puskopsyah Jabar (Pusat
Koperasi Syariah Jawa Barat) siap membantu dalam pembinaan, perizinan, dan
support lainnya terhadap BMT - BMT. Insya Allah, dengan berinduk kepada lembaga
non-bank, maka kesulitan-kesulitan berkaitan dengan ketentuan badan usaha dapat
diatasi. Konsep BMT pada dasarnya adalah memutar sumber dana, yaitu sumber dari
ZIS (Zakat, Infak dan Shodakoh) untuk kemudian disalurkan (dipinjamkan) kepada
para pelaku usaha yang menginginkan muamalah dengan system syariah.
Adapun, cita – cita kami adalah
mendirikan BMT Nata Laba yang menginduk kepada Puskopsyah, di samping tetap menjalankan
bisnis di bawah payung hukum CV. Nata Laba yang bercita – cita menata laba
bersama mitra dengan sistem bagi hasil dan bagi rugi. Dengan demikian, sumber
dana BMT Nata Laba kelak akan lebih dari 1 (satu) sumber, yaitu ; ZIS,
investasi para investor (dengan system bagi hasil dan bagi rugi), serta
penyisihan laba penjualan CV. Nata Laba.
Mekanisme bagi hasil dan bagi
rugi yang dijalankan oleh CV. Nata Laba yang sedang dan akan disempurnakan
adalah sebagai berikut ;
Misal, diketahui ; Laba Kotor Bersama
= “sekian”. Akan dibagi hasil antara CV. Nata Laba dengan Mitra Penjualan,
Mitra Supplier, Mitra Karyawan Nata Laba[5]
dan CV. Nata Laba.
Langkah – langkah account :
1. CV.
Nata Laba menjalin kerjasama dengan mitra – mitra penjualan, dengan sistem bagi
hasil, yaitu 50% : 50% dari laba kotor
bersama antara CV. Nata Laba dengan para mitra penjualan, setelah dipotong
alokasi zakat dari laba kotor (bukan dari laba bersih).
2. CV. Nata Laba menjalin kerjasama dengan mitra
– mitra supplier, dengan sistem bagi hasil, yaitu 50% : 50% dari laba setelah dipotong bagi hasil
CV. Nata Laba dengan mitra –penjualan. Jadi, bagi hasil dengan mitra supplier
setelah bagi hasil dengan mitra penjualan.
3. CV.
Nata Laba berbagi hasil dengan para mitra karyawannya, dengan komposisi
seimbang 50% : 50% antara perusahaan dengan seluruh mitra karyawan, setelah
dipotong bagi hasil dengan mitra penjualan dan mitra supplier.
Keunggulan konsep Bagi Hasil dan Bagi Rugi
1. Mitra
Penjualan mendapatkan laba lebih besar dari perusahaan penyelenggara,
2. Mitra
Supplier mendapatkan laba lebih besar dari perusahaan penyelenggara,
3. Mitra
Karyawan memiliki rasa memiliki yang tinggi, karena jika usaha maju ikut besar
hasilnya, dan jika usaha turun maka ikut turun pula hasilnya,
4. CV.
Nata Laba akan menawarkan kepada 3 (tiga) jenis mitra tersebut untuk
menyisihkan maksimal 50% dari laba mereka masing – masing (yang telah dibagi
hasil), untuk diinvestasikan di BMT. Nata Laba, sebagai instanding (simpananan)
maupun ZIS (Zakat, Infaq, Shodakoh) yang pembukuannya dipisah, untuk
dipinjamkan kepada masyarakat luas yang butuh pinjaman;
a.
Sistem pembayaran keuntungan dengan cara BAGI
HASIL dari LABA PEMINJAM (bukan dihitung dari pokok pinjaman, karena itu
merupakan Riba bunga),
b.
Sistem pembayaran pokok bebas jumlahnya tidak
ditentukan, SESUAI KEMAMPUAN peminjam berdasarkan laba yang diperolehnya,
karenanya tidak memberatkan,
c.
Tidak mensyaratkan adanya agunan[6],
sebab jaminan adalah syahadat (bagi muslim), dan atau itikad baik (bagi umum),
serta usaha yang sedang berjalan,
d.
Untuk pinjaman keperluan non-komersil (tidak
menghasilkan laba), seperti keperluan sakit, sekolah, dan lain-lain, tidak
perlu bagi hasil, karena hanya dikenakan zakat (2,5%) dari sisa pinjaman yang
menurun setiap bulan karena pembayaran sejumlah tersebut sudah mencakup
pembayaran pokok dan zakat, sehingga tiap bulan hutang pokoknya telah turun.
e.
Tidak ada kewajiban membayar hutang dalam tempo
tertentu apabila terjadi sebagaimana syariat yang dijelaskan pada al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 280, atau diputihbuku sama sekali jika yang bersangkutan
benar-benar tak berdaya lagi (disedekahkan).
Rencana Ke Depan
Diharapkan di tiap Kecamatan,
lebih baik lagi jika di tiap desa atau kelurahan seluruh Indonesia, telah ada
BMT – BMT Nata Laba, atau BMT – BMT lain yang memiliki visi dan misi yang sama
dengan Nata Laba, agar pergerakan dzikir membebaskan jiwa dari Riba hakekat (pamrih
dalam ibadah kepada Allah SWT) dapat segera tercapai. Lebih baik lagi jika
sudah berkembang ke seluruh dunia (ruh, jiwa dan raga kita), sehingga
benar-benar kita mendapat LABA = LApang BAthin.
Wassalamu’alaikum. wR. wB.
[1]
Para penulis adalah pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Suryalaya,
dan mitra serta pengelola CV. Nata Laba, yang salah satu bidang pergerakannya adalah
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
[2]
Bagi
ummat Islam, larangan melakukan praktek Riba dan perintah meninggalkan Riba,
telah jelas terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan
279.
[3] http://www.penayasin.com/2010/04/sejarah-riba-dalam-perspektif-berbagai.html
[4]
K.H.A. Shohibul Wafa Tadjul ‘Arifin, “Miftahus Shudur”. Tasikmalaya, (1388
Hijriyyah). Terjemahan oleh Prof. DR. K.H. Aboebakar Atjeh, (Ramadhan 1389). Yayasan
Serba Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya.PT. Mudawwamah Warohmah. hal.
3.
[5]
Bagi Hasil dan bagi Rugi dilaksanakan secara konsisten dalam setiap alur
ekonomi, termasuk dengan mitra karyawan, tidak menggunakan sistem gaji yang
ditarif, melainkan sistem bagi hasil juga, karenanya di CV. Nata Laba karyawan
disebut sebagai mitra juga. Jadi, sejak hulu ke hilir, aliran bagi hasil akan
“murni”, tanpa riba. Mengapa?, sebab jika dengan sistem gaji, adakalanya saat
usaha menurun perusahaan akan menjadi berat karena gaji karyawan tetap harus
dibayar dengan tarif tertentu. Sebaliknya, jika usaha sedang meningkat, maka
karyawan pendapatannya cenderung tetap padahal usaha sedang mengalami kemajuan.
Di sinilah seringnya terjadi “clash” antara pengusaha (perusahaan) dengan buruh
(karyawan).
[6]
Secara syariat, jika ada saksi yang menuliskan, sesuai dengan Q.S. al-Baqarah,
ayat 283. Aplikasinya dalam hakekat dan tarekat adalah ; adanya guru yang
“menuliskan” pada kalbu (ruh) orang yang sedang dalam perjalanan (perjalanan
hidup), namanya di talqin oleh ahli tarekat (ahli dzikir).
UNTUK MENGHAPUS RIBA, SILAHKAN DI-SHARE
BalasHapus